Jumat, 30 Oktober 2015
RASA ingin tahu tentang Kashmir membuatku semakin mantap memulai penjelajahan Himalaya dari Srinagar. Kukumpulkan semua informasi mengenai jalan yang menghubungkan Srinagar dengan kota Leh sampai Manali sepanjang sekitar 1.000 kilometer itu.
Jalan yang menjadi jalur suplai logistik militer India tersebut juga menjadi urat nadi perekonomian kawasan India bagian utara karena menghubungkan tiga kota besar yaitu Srinagar, Leh, dan Manali.
Uniknya, dalam sepotong jalur itu kita akan menemui sekurangnya tiga kebudayaan besar yang berbeda. Kashmir yang bernuansa Islam akan berganti Buddha Tibetan saat memasuki wilayah Ladakh atau Leh, dan pengaruh Hindu di kawasan Jammu juga menyebar ke sejumlah daerah di sekitar Ladakh.
Dalam setahun jalur tersebut hanya dibuka enam bulan yaitu di luar musim dingin yang berlangsung mulai pertengahan Oktober sampai Mei tahun berikutnya.
Kondisi jalur antara jalan beraspal, tanah, lumpur, bebatuan dan salju. Jalur itu juga melintasi sejumlah celah gunung atau pass berketinggian di atas 5.000 meter.
Longsoran tebing batu seperti ini sering terjadi di sepanjang jalur Srinagar, Leh, dan Manali di India.
Pada ruas Leh-Manali, jalur melintasi kawasan dengan ketinggian rata-rata di atas 4.200 meter dengan titik tertinggi di Taglang La (5.350 meter).
Sambil mematangkan rencana operasional, kumulai upaya pengumpulan dana dengan menabung dan berjualan kaos.
Seorang teman dekat yaitu Budi Cahya Rasyid sempat tertarik untuk bergabung. Namun dalam prosesnya ia memilih menjadi manajer tim yang mengurusi semua keperluanku, termasuk untuk penggalangan dana.
Dana yang dibutuhkan relatif tidak terlalu besar karena aku akan berjalan seorang diri. Sejumlah teman sesama anggota Mahitala Unpar tergerak dengan ekspedisi ini lalu ikut membantu. Begitu pula teman-teman dari Ikatan Alumni Kolese Gonzaga.
Dalam konteks ini, aku berterima kasih kepada Sani Handoko, Sandra Moniaga, Yunita Budiwardhani, Tri Handoyo, Sandra Ratnasari, Stefano Makawangkel, Budi Satria, dan RS Siloam yang secara langsung ikut terlibat mendukung ekspedisi.
RS Siloam menyediakan semua obat yang kubutuhkan dalam penjelajahan. Dukungan juga datang dari sejumlah teman di HarianWarta Kota tempatku bekerja.
Dengan besarnya dukungan dari teman, aku semakin mantap mempersiapkan diri dengan berlatih fisik berupa lari, olah pernafasan, dan bersepeda jarak sedang dan jauh.
Roda doa di pasar tradisional di Leh, India. Orang lewat memutar roda sambil melafalkan doa.
Satu hal yang sempat membebaniku selama masa persiapan ekspedisi ini adalah menjelaskan pada keluarga besar dan ketiga anakku yang masih kecil.
Si sulung sudah bisa diajak ngomong dan memahami tugas yang sering membuat ayahnya pergi meninggalkan rumah selama beberapa hari atau minggu.
Anak keduaku yang berusia tujuh tahun sampai lima hari menjelang keberangkatan masih belum bisa ‘melepas’ kepergianku.
Situasi itu sempat membuatku gundah sampai akhirnya kutemukan sepucuk surat di lemari dari anakku itu, yang isinya justru memberi semangat agar aku pergi menjelajah Himalaya.
Lembah Kashmir
Saat yang dinanti-nanti itu akhirnya datang juga. Sejumlah anggota Mahitala Unpar mengantarku ke bandara untuk terbang ke India lewat Singapura dan transit semalam di New Delhi.
Senin (28/9/2015) larut malam di Bandara Internasional Indira Gandhi, aku dijemput Muhammad Ikhsan, staf Penerangan Sosial Budaya KBRI di New Delhi dan diantar menginap di Wisma Tamu KBRI.
Penjual buah kering di Leh, India.
Keesokan paginya, niat hati ingin bertemu Duta Besar RI untuk India, Bapak Rizali Indrakesuma. Namun hari masih pagi betul dan aturan protokoler tidak memungkinkan untuk itu, sementara aku juga harus melanjutkan penerbangan ke Srinagar pukul 10.00.
Saat sedang menunggu berangkat ke bandara pukul 07.00, tiba-tiba pak Dubes muncul begitu saja di Wisma Tamu. Kami berbincang sebentar di wisma sambil nyeruput kopi. Sungguh ini sebuah kejutan bagiku.
Pertemuan dengan pak Dubes itu seperti bensin tambahan yang semakin mengobarkan semangat tempur di lapangan.
Betapa tidak, aku merasa ini adalah sebentuk penghargaan langsung dari pemerintah Indonesia dalam upayaku mengibarkan Merah Putih pada penjelajahan di Pegunungan Himalaya.
Pak Dubes mengingatkan soal pentingnya mengenal karakter orang-orang lokal yang akan kutemui di sepanjang jalan. Memang ada stereotipe tertentu terhadap orang India.
“Namun kita ambil positifnya saja, yaitu kegigihan mereka dalam mengerjakan segala sesuatu. Mereka memang sangat agresif bila memperjuangkan sesuatu untuk negerinya,” tutur pak Dubes.
Ibu-ibu Tibet bersiap melakukan ritual 'Puja' di Leh, India.
Obrolan dengan pak Dubes itu terbukti saat aku berhadapan langsung dengan mereka di jalan.
Setelah berpamitan, aku langsung diantar ke bandara dan terbang ke Srinagar dengan pesawat Jet Airways rute domestik.
Saat mendaftarkan bagasi, Ikhsan sempat berdebat dengan pegawai maskapai karena bagasiku seberat 33 kilogram dianggap overweight. Kami katakan bahwa hal itu sudah dibereskan di Jakarta dan tidak ada masalah.
Maklum, penerbangan ini adalah joint flight antara Garuda Indonesia dan Jet Airways.
Akhirnya pegawai maskapai itu diam saja dan memproses bagasiku berupa kardus besar berisi sepeda dan semua perlengkapan ekspedisi seperti tenda, kompor, sleeping bag, pakaian pelindung, dan makanan kalori tinggi.
Satu jam di udara dan kulihat dari jendela pesawat untuk pertama kalinya deretan puncak gunung bersalju The Great Himalayan Range.
Pucuk-pucuk gunung yang bergelombang bersaput salju putih seperti krim lembut yang menempel pada sepotong kue. Di beberapa punggungan, padang salju terlihat begitu tebal, menggantung, dan hampir jatuh melorot ke bawah. (Bersambung...)
Jalan yang menjadi jalur suplai logistik militer India tersebut juga menjadi urat nadi perekonomian kawasan India bagian utara karena menghubungkan tiga kota besar yaitu Srinagar, Leh, dan Manali.
Uniknya, dalam sepotong jalur itu kita akan menemui sekurangnya tiga kebudayaan besar yang berbeda. Kashmir yang bernuansa Islam akan berganti Buddha Tibetan saat memasuki wilayah Ladakh atau Leh, dan pengaruh Hindu di kawasan Jammu juga menyebar ke sejumlah daerah di sekitar Ladakh.
Dalam setahun jalur tersebut hanya dibuka enam bulan yaitu di luar musim dingin yang berlangsung mulai pertengahan Oktober sampai Mei tahun berikutnya.
Kondisi jalur antara jalan beraspal, tanah, lumpur, bebatuan dan salju. Jalur itu juga melintasi sejumlah celah gunung atau pass berketinggian di atas 5.000 meter.
Sambil mematangkan rencana operasional, kumulai upaya pengumpulan dana dengan menabung dan berjualan kaos.
Seorang teman dekat yaitu Budi Cahya Rasyid sempat tertarik untuk bergabung. Namun dalam prosesnya ia memilih menjadi manajer tim yang mengurusi semua keperluanku, termasuk untuk penggalangan dana.
Dana yang dibutuhkan relatif tidak terlalu besar karena aku akan berjalan seorang diri. Sejumlah teman sesama anggota Mahitala Unpar tergerak dengan ekspedisi ini lalu ikut membantu. Begitu pula teman-teman dari Ikatan Alumni Kolese Gonzaga.
Dalam konteks ini, aku berterima kasih kepada Sani Handoko, Sandra Moniaga, Yunita Budiwardhani, Tri Handoyo, Sandra Ratnasari, Stefano Makawangkel, Budi Satria, dan RS Siloam yang secara langsung ikut terlibat mendukung ekspedisi.
RS Siloam menyediakan semua obat yang kubutuhkan dalam penjelajahan. Dukungan juga datang dari sejumlah teman di HarianWarta Kota tempatku bekerja.
Dengan besarnya dukungan dari teman, aku semakin mantap mempersiapkan diri dengan berlatih fisik berupa lari, olah pernafasan, dan bersepeda jarak sedang dan jauh.
Si sulung sudah bisa diajak ngomong dan memahami tugas yang sering membuat ayahnya pergi meninggalkan rumah selama beberapa hari atau minggu.
Anak keduaku yang berusia tujuh tahun sampai lima hari menjelang keberangkatan masih belum bisa ‘melepas’ kepergianku.
Situasi itu sempat membuatku gundah sampai akhirnya kutemukan sepucuk surat di lemari dari anakku itu, yang isinya justru memberi semangat agar aku pergi menjelajah Himalaya.
Lembah Kashmir
Saat yang dinanti-nanti itu akhirnya datang juga. Sejumlah anggota Mahitala Unpar mengantarku ke bandara untuk terbang ke India lewat Singapura dan transit semalam di New Delhi.
Senin (28/9/2015) larut malam di Bandara Internasional Indira Gandhi, aku dijemput Muhammad Ikhsan, staf Penerangan Sosial Budaya KBRI di New Delhi dan diantar menginap di Wisma Tamu KBRI.
Saat sedang menunggu berangkat ke bandara pukul 07.00, tiba-tiba pak Dubes muncul begitu saja di Wisma Tamu. Kami berbincang sebentar di wisma sambil nyeruput kopi. Sungguh ini sebuah kejutan bagiku.
Pertemuan dengan pak Dubes itu seperti bensin tambahan yang semakin mengobarkan semangat tempur di lapangan.
Betapa tidak, aku merasa ini adalah sebentuk penghargaan langsung dari pemerintah Indonesia dalam upayaku mengibarkan Merah Putih pada penjelajahan di Pegunungan Himalaya.
Pak Dubes mengingatkan soal pentingnya mengenal karakter orang-orang lokal yang akan kutemui di sepanjang jalan. Memang ada stereotipe tertentu terhadap orang India.
“Namun kita ambil positifnya saja, yaitu kegigihan mereka dalam mengerjakan segala sesuatu. Mereka memang sangat agresif bila memperjuangkan sesuatu untuk negerinya,” tutur pak Dubes.
Setelah berpamitan, aku langsung diantar ke bandara dan terbang ke Srinagar dengan pesawat Jet Airways rute domestik.
Saat mendaftarkan bagasi, Ikhsan sempat berdebat dengan pegawai maskapai karena bagasiku seberat 33 kilogram dianggap overweight. Kami katakan bahwa hal itu sudah dibereskan di Jakarta dan tidak ada masalah.
Maklum, penerbangan ini adalah joint flight antara Garuda Indonesia dan Jet Airways.
Akhirnya pegawai maskapai itu diam saja dan memproses bagasiku berupa kardus besar berisi sepeda dan semua perlengkapan ekspedisi seperti tenda, kompor, sleeping bag, pakaian pelindung, dan makanan kalori tinggi.
Satu jam di udara dan kulihat dari jendela pesawat untuk pertama kalinya deretan puncak gunung bersalju The Great Himalayan Range.
Pucuk-pucuk gunung yang bergelombang bersaput salju putih seperti krim lembut yang menempel pada sepotong kue. Di beberapa punggungan, padang salju terlihat begitu tebal, menggantung, dan hampir jatuh melorot ke bawah. (Bersambung...)
Sumber : www.kompas.com
Jumat,30 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar